Senin, 30 April 2012

Menuju perjumpaan dengan sang waktu..

Akhirnya aku tidak bisa melawan jodoh (kalau boleh aku mengatakan seperti itu). Aku akan menikah dengannya. Kelak akan menghadapi banyak permasalahan dan kesulitan. Kelak akan banyak rasa sakit. Kelak akan banyak penderitaan. Kelak akan banyak air mata yang akan keluar.

Tapi mulai sekarang, dengan lantang aku akan mengatakan, AKU AKAN MENGHADAPINYA DAN SEBISA MUNGKIN AKU AKAN MENANG..!!!!
Pada akhirnya aku sadar satu hal, bahwa semakin banyak kita bicara semakin menunjukkan kebodohon kita. Tentara perang yang mengatakan taktik perang dan berapa banyak senjata yang dimilikinya, adalah tentara bodoh yang dengan sukarela menyerahkan kemenangan kepada musuhnya.
Dan yah, akhirnya aku sadar, bahwa apa yang aku dapatkan sekarang adalah apa yang pantas untuk diriku. Ini adalah yang terbaik untukku. Aku pantas mendapatkan ini. Karena ini adalah kado terindah dari sang ilahi.
Aku ingat satu kutipan, ketika aku meminta matahari, tuhan malah memberiku hujan. Lelah aku menunggu kapan tuhan akan mengabulkan permintaanku, tanpa sadar ternyata tuhan ingin memberiku pelangi yang indah. Pelangi yang ada hanya ketika aku sabar menunggu hujan berhenti.
Mempercayakan ceritaku pada orang lain ternyata adalah sia-sia. Aku melupakan tuhanku.Yang tidak pernah tidur. Bahkan yang bisa mengerti apa yang tidak bisa kupahami.


Hhhh.. sebentar lagi aku akan menuju pernikahan.


AKU AKAN BAHAGIA..!!!

Minggu, 01 Januari 2012

Tentang Kehilangan

Kehilangan itu pasti.
Selama dunia masih berputar. Selama jarum jam kehidupan masih berdetak. Selama alam semesta masih bernafas. Terlebih selama manusia masih memiliki rasa. Karena rasa kehilangan tercipta dari rasa memiliki manusia. Tidak akan pernah ada kehilangan kalau sebelumnya tidak pernah memiliki. Singkatnya, kehilangan ada karena memiliki. Dan memiliki pasti akan kehilangan.
Begitu saja. Mau tidak mau, suka tidak suka, tetap harus. Karena semuanya telah menjadi hukum alam dan semesta tidak pernah memberikan kita opsi untuk memilih salah satunya (yang sudah pasti kita tidak akan pernah memilih kehilangan).

Sejujurnya, dengan berkata seperti ini bukan berarti aku adalah seorang yang bersahabat dengan kehilangan. Bahkan seandainya bisa, aku sangat ingin melenyapkannya dari kehidupan ini. Karena kehilangan selalu saja membuatku sakit. Menangis. Bahkan nyaris ingin mengakhiri hidupku sendiri. Tapi kerap kali aku selalu disuguhi kehilangan oleh kehidupan. “Itu adalah konsekuensi yang harus kau lakukan karena kau telah memiliki.” begitu kata dunia padaku tempo dulu ketika aku bertanya kenapa dia harus memberiku sesuatu yang pada akhirnya harus kulepaskan.

“Tapi aku tidak pernah tau soal konsekuensi itu.” Bantahku dengan lengkingan frustasi. “Dan kau tidak pernah mengatakan soal ini sebelumnya padaku.”
“Kau sudah tau.” Jawabnya dengan ketegasan yang dingin. Melihatnya aku baru tau kenapa di setiap film, tokoh antagonisnya selalu memiliki karakter yang dingin. Karena dinginnnya itulah yang akhirnya bisa membekukan korbannya dalam kematian, bahkan sebelum dia melakukan apa-apa.
“Aku tidak tau.” Teriakku dengan tatapan penuh kebencian. Ini tidak bisa kuterima. Bahkan alam semesta ini tau bahwa dialah yang menjadi penyebab aku seperti ini. Dia. Bukan aku. Dan sekarang dia dengan entengnya mengatakan bahwa aku sudah tau soal ini.
“Kau sudah berjanji padaku.” Katanya
“Hey, apa kau sudah gila?” Tiba-tiba aku telah berada pada fase mempertanyakan kegilaannya dan mempertimbangkan kewarasanku sendiri. “Aku bahkan tidak mengenalmu. Bagaimana bisa aku membuat janji denganmu? Satu lagi, kenapa aku harus membuat janji untuk sakit?”
“Tapi kau memintanya.”
“Tidak!”
“Dan kau menyukainya.”
“Aku tidak pernah menyukai kehilangan. Aku sakit. Kau tau? Aku tersiksa.”
“Kau menyukai yang pernah kau miliki.” Dia masih bersikeras dengan pendapatnya, ralat, Kesimpulannya. Seolah-olah dia sangat mengenalku melebihi diriku sendiri.
“Siapa kau?” Tanyaku dengan tatapan yang menghunus tajam ke arahnya.
Dia tersenyum sebentar. Dan aku muak melihatnya. “Aku adalah dunia. Dan kau adalah kehidupan. Aku adalah bagian darimu, dan kau adalah bagian dariku.”
“Oh ya?” Sama sekali tidak kusembunyikan ejekan merendah itu.” Karena itu kau seolah-seolah sangat mengenalku?”
“Aku memang mengenalmu.”
“Begitukah caramu mengenal sesuatu? Dengan memberinya kesakitan?”
“Kau yang meminta.”
“Berapa kali harus kukatakan padamu? Aku tidak pernah meminta sesuatu padamu, terlebih itu rasa sakit!!”
“Tapi kau menyukai sesuatu yang dibawa oleh rasa sakit itu.”
“Seandainya aku tau bahwa aku akan sakit, aku pasti tidak akan menyukainya.”
“Itulah sebabnya kau sakit.”
Aku ternganga.
Dia tersenyum penuh kemenangan melihatku. Sebenarnya, senyumnya lebih mirip senyum seorang ibu yang sabar menghadapi anaknya yang keras kepala. Senyum itu mengandung kebenaran. Senyum itu tulus. Suci. Tapi aku tidak mau mengakuinya. Aku sudah terlanjur membencinya sehingga aku tidak mau melihat sisi baiknya. Bahkan yang sangat jelas di penglihatanku.
“Karena kau tidak menepati janjimu.” Tuturnya menjawab pertanyaanku yang menggantung di tatapan mata. “Dan karena kau tidak percaya padaku.”
“Baiklah. Katakanlah kau benar. Aku pernah berjanji padamu. Tapi bukankah itu adalah sebuah perjanjian sepihak? Karena nyatanya aku tidak tau apa yang kita janjikan.”
“Kau selalu tau apa yang kau inginkan.” Aku tidak tau ke mana arah pembicaraannya. “Atau kadang-kadang kau tidak tau?” Ia semakin terlihat seperti sebuah gunung es.
“Aku selalu tau apa yang kuinginkan.”
“Lalu kenapa kau masih bertanya?”
“Aku hanya tidak tau soal kehilangan itu. Tiba-tiba saja dia muncul, merampas semua yang kupunya. Memaksaku melepaskannya, lalu pergi meninggalkan aku yang tersiksa dalam kesakitan karena kehilangan.”
“Dia hanya mengambil kembali miliknya yang dititipkannya padamu.” Dunia tersenyum. “Kau tau apa yang kau inginkan. Karena itu kau membisikkannya dalam jiwamu. Dan seperti yang kukatakan tadi, aku adalah dunia dan kau adalah kehidupan. Secara alamiah, jiwa kita menyatu. Lalu aku mengiyakan permintaanmu. Aku akan memberikan apa yang kau inginkan. Tapi ketika waktunya tiba, aku akan mengambilnya kembali darimu. Itulah perjanjian kita.”
Aku tersenyum miris. “Sekali lagi aku tidak tau soal itu. Seandainya aku tau, aku lebih memilih untuk tidak meminta.”
“Kau tidak meminta. Tapi jiwamu yang memintanya.”
“Pasti dia telah salah. Atau mungkin kau yang salah.”
“Kau percaya Tuhanmu?”
“Aku percaya.”
“Apa kau pikir Dia pernah salah?”
“Kau sedang mengejekku?”
“Aku hanya berusaha membantumu.”
“Dengan cara menanyakan apakah aku percaya pada Tuhanku?”
“Itu yang kau lakukan sekarang.”
“Kehilangan sama sekali tidak ada hubungannya dengan Tuhan.”
“Lupakah kau bahwa Tuhan yang menuliskannya untukmu? Tidakkah kau tau bahwa kau dan aku adalah hasil karya-Nya?”
Aku terdiam. Berusaha menerjemahkan sendiri bahasanya.
“Kau tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Dan di awal kau tidak tau kenapa kau harus dilahirkan. Tapi setelah jiwamu bertemu dengan kehidupanmu, kau mulai menyukainya, lalu seiring berjalannya waktu, kau telah sangat menyukainya. Kau telah merasa memiliki. Padahal sejenak saja kau menoleh ke belakang, ke proses penciptaanmu, sebenarnya kau dilahirkan untuk memainkan peranmu. Kehilangan itu adalah pasti. Seperti kau makan, pasti kenyang. Kau berlari, pasti lelah. Hanya kau harus menetapkan tujuanmu dan tau apa sebab kenapa kau harus melakukannya.” Dunia menarik nafasnya sebentar. Sepertinya dia sudah sangat tua. “Kau harus makan untuk mempertahankan hidupmu. Kau berlari karena mengejar waktu.” Dia tersenyum. “Kau kehilangan untuk mendapatkan yang lebih baik. Karena itu kau harus percaya padaku. Karena aku adalah duniamu. Bagian dari kehidupanmu.”


Kau bisa memiliki kembali apa yang telah diambil darimu dengan cara menemukannya kembali. Katanya penuh kehangatan sebelum pergi meninggalkanku.